Analisis dalam kerangka Pembangunan Politik di negara-negara pasca kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis, dalam kerangka menciptakan State and nation Building yang kokoh. Dengan memadukan berbagai pendekatan/teori yang relevan termasuk didalamnya peranan militer, disertai berbagai contoh negara-negara yang terkait.
Pembangunan Politik (Political Development)
Pembangunan politik sering diartikan sebagai modernisasi politik yang dialami di Eropa (negara barat) dan selanjutnya di bagian-bagian dunia lain setelah dan sejak renaissance. Para pendukung teori modernisasi umumnya meyakini bahwa ilmu-ilmu sosial bersifat universal, dan karenanya pemahaman, analisis, perumusan dan pemecahan masalah suatu negara bisa diterapkan pada negara lain.
Jika modernisasi bisa dilakukan di negara-negara Barat, maka ia niscaya juga bisa diterapkan pada konteks negara non Barat, Keyakinan akan universalitas teori ini kemudian mendapatkan pembenaran ketika Jepang (negara Asia yang hancur lebur akibat perang) mampu dan sukses meniru model pembangunan yang diterapkan negara-negara Barat. Selama lebih dari tiga dekade, teori modernisasi, yaitu teori yang mengatakan bahwa kemiskinan suatu negara berpangkal pada persoalan internal negara yang bersangkutan, dan karenanya solusi yang diperlukan adalah memoderenkan negara tersebut, menjadi pilihan utama untuk menjelaskan dan memproyeksikan pembangunan negara. Yang menurut pendapat Lucian Pye rumusan-rumusan tersebut bersifat etnosentris (pro Barat). Munculnya negara-negara baru pasca Kolonial yang pada umumnya cenderung non demokratis ditandai dengan adanya pembatasan terhadap partisipasi politik masyarakat, karena apabila terjadi perluasan terhadap partisipasi politik masyarakat akan menyebabkan terjadinya gangguan terhadap stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan yang dimiliki oleh negara.
Tumbuhnya peningkatan kesadaran sosial dan politik melalui aspirasi dan tuntutan secara menyolok akan menimbulkan gejolak-gejolak sosial dan jika keadaaan ini berlangsung lama akan menimbulkan anomie, hal ini menurut Samuel P. Huntington sangat berbahaya apabila terjadi pada negara-negara berkembang. Meningkatnya partisipasi politik masyarakat sebagai akibat langsung dari pertumbuhan ekonomi yang memudahkan akses terhadap pendidikan, memunculkan kesadaran politik yang tinggi.
Transformasi ini dapat dikatakan sebagai gejala pembangunan (development syndrome) ciri-ciri yang berkaitan dari modernisasi politik. Sindrome ini menurut Lucian Pye dan yang lain agak berbeda, tapi dapat dikatakan meliputi : 1. Sikap umum arah persamaan (equality) yang memungkinkan persamaan kesempatan berpartisipasi dalam politik dan bersaing mendapatkan jabatan pemerintahan, 2. Kapasitas (capacity) sistem politik merumuskan kebijakan dan pelaksanaannya, 3. Diferensiasi dan spesialisasi (Differenciation and specialization) fungsi politik tanpa mengorbankan integrasi secara menyeluruh, 4. Sekulerisasi proses politik, pemisahan politik dari tujuan dan pengaruh agama.
Perubahan-perubahan ini sering menimbulkan masalah-masalah dalam pembangunan, diantaranya adalah legitimasi sebagai persoalan pembangunan negara (state building) dan krisis identitas sebagai masalah pembangunan bangsa (nation building), masalah partisipasi dan distribusi politik (pembagian manfaat politik), penetrasi (pemerintahan efektif), dan integrasi (fungsi pemerintah).
Dengan timbulnya masalah-masalah pembangunan sebagai akibat dari modernisasi politik, pembangunan politik sering dilihat sebagai kapasitas sistem politik dalam menyelesaikan masalah. Pembangunan politik didefinisikan secara agak sempit sebagai meningkatnya diferensiasi dan spesialisasi struktur politik dan meningkatnya sekularisasi budaya politik. Pembangunan politik terjadi jika sistem politik berhasil mengatasi masalah tantangan pembangunan negara dan bangsa, distribusi dan lain-lain. Sehingga makna pembangunan adalah meningkatnya efektifitas dan efisiensi perilaku sistem politik dan kapabilitasnya, akan tetapi sistem politik tersebut harus memiliki sumber ekstarksi dan pengaturan yang cukup.
Disamping demokrasi perlu juga dipahami demokratisasi, yang menurut Huntington kini sudah memasuki gelombang ketiga. Gianfranco Pasquino mengatakan demokratisasi adalah proses dimana rezim-rezim otoriter beralih menjadi rezim-rezim demokratis. Pendapat senada juga dikemukakan oleh David Potter dan kawan-kawan yang mengatakan bahwa demokratisasi adalah suatu perubahan politik yang bergerak ke arah sistem politik yang demokratis. Pengertian-pengertian ini harus dibedakan secara analitis dari proses liberalisasi dan transisi. Liberalisasi hanyalah pelunakan rezim otoriter dalam operasi atau kerangka kerjanya. Prosesnya dipimpin oleh pemimpin otoriter itu sendiri. Liberalisasi boleh jadi merupakan langkah awal dari transisi menuju demokrasi.
Mobilisasi dan Partisipasi Politik
David Apter dalam konsep modernisasi, partisipasi politik masyarakat dimobilisasi demi penegakan penegakan legitimasi kekuasaan (the rulling elit), hal ini menjelaskan kasus pembangunan politik yang terjadi di Uganda dan Ghana. Jika kita kaitkan dengan konsep Huntington tentang Model negara Tahap I Borjuis dan otokrasi, Tahap II. Teknokrat dan populis, ternyata sistem feodalistik masih kuat melekat pada negara-negara baru tersebut. (pasca kolonial).
Mari kita lihat pada model tahap I.Model Otokrasi, yang memiliki banyak persamaan dengan masa pemerintahan Orde Baru.
Model Otokrasi, ditandai dengan adanya :
1. Kekuasaan dipusatkan.
2. Partisipasi politik golongan menengah ditindas (militer masuk mengambil peran).
3. Penanaman Modal Asing dan Pertumbuhan ekonomi meningkat.
4. Pemerataan sosial ekonomi meningkat (untuk memperoleh dukungan).
5. Adanya masalah land reform (golongan aristokrasi tradisional).
6. Stabilitas politik terjamin.
Akibatnya terjadi rekayasa partisipasi terhadap penguasa yang sedang berkuasa, secara makro pertumbuhan ekonomi meningkat, secara mikro tumbuhnya kapitalisme (kapitalisme semu) yang dapat membuat goyah pondasi perekonomian, terjadi tuntutan partisipasi politik di perluas akibat adanya kesadaran politik pada tingkatan masyarakat kelas rendah baik di kota ataupun desa, adanya pemanfaatan landreform yang membuat juga adanya tuntutan partisipasi politik. Adanya pengaruh eksternal, perlahan-lahan muncul civil society yang menjadi salah satu prasyarat bagi tumbuhnya demokrasi di sebuah negara. Jadi meskipun pengaruh modernisasi ditengarai banyak pro barat, tapi menjadi cikal bakal bagi tumbuhnya gerakan demokrasi di sebuah negara. Karena melalui demokrasi juga kita akan melihat pengaruh pada budaya politik. Yang menurut Almond dan Verba sebagai budaya politik parokial yang terjadi pada masyarakat tradisional. Mereka tidak tahu dan tidak mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik. Hal ini terjadi pada masyarakat yang belum mengalami proses modernisasi.
Pada budaya politik subyek mereka tahu tapi tidak mau terlibat, hal ini terjadi pada masyarakat yang tingkat pertumbuhan ekonominya sudah baik, partisipasi politik sangat rendah padahal tingkat pendidikan sudah tinggi, contohnya adalah negara maju yang secara umum sudah mapan sehingga partisipasi politik menjadi rendah.
Budaya politik partisipan, mereka tahu dan terlibat pada kegiatan-kegiatan politik, pada masa transisi sering terjadi karena kesadaran politik baru muncul, pertumbuhan ekonomi mulai meningkat, stabilitas politik masih dalam masa transisi. Hal ini dapat dilihat pada Indonesia pasca reformasi 1998. dimana partispasi politik tinggi, adanya penguatan civil society, partisipasi politik dalam pemilu cukup tinggi sebagai salah satu alat ukur perwujudan demokrasi yang tinggi. Jika budaya politik sebagai orientasi subjek terhadap sistem politik sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang dan modernisasi dapat mengubah budaya politik seseorang maka hal tersebut merupakan proses yang multidimensional.
Pembangunan politik pada negara-negara baru ditentukan oleh aktor-aktor
Pembangunan politik (Modernisasi Politik), dalam kerangka menciptakan State and nation Buliding yang kokoh operasi negara bangsa sangat dipengaruhi oleh :
1. Elit politik (Parlementaria)
2. Birokrasi
Birokrasi atas dasar Weber, birokrasi rasional akan dapat mendorong percepatan modernisasi berpegang teguh pada konsep hukum yang sekuler.
3. Militer
Jika kepemimpinan elit dan partai politik yang diorganisasi tidak berhasil memberikan kepemimpinan politik , maka satu-satunya kekuatan di negara berkembang yang dapat dan yang akan mengambil alih kekuasaan adalah militer. Kelompok lainnya seperti Mahasiswa dan buruh kurang memiliki organisasi yang luas dalam masyarakat untuk mengambil alih dan melaksanakan kekuasaan. Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka kan sulit untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil. Mexico dapat disebut sebagai contoh dimana pemerintahan sipil dapat dibangun kembali, sekalipun pola kekuasaan militer sempat bertahan sampai beberapa puluh tahun.
State and Nation Building
Sebagian besar negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, menghadapi masalah-masalah state dan nation building terjalin erat dengan proses demokratisasi. Timur Tengah adalah contoh klasik. Demokrasi konsosional yang diterapkan di Libanon menjadi contoh untuk mengatasi disintegrasi. Mesir menjadi negara demokratis sekuler bertetangga dengan Libya yang otoritarian. Percobaan demokratisasi Irak kini masih mengalami kendala-kendal politik dan budaya yang serius karena kuatnya etno-nasionalisme. Analisa klasik Rupert Emerson pada 1960 mengenai nasionalisme pasca kolonial menyimpulkan bahwa nasionalisme muncul dari “gejolak dan perubahan sosial yang mendalam sifatnya, yang membongkar tatanan lama dalam masyarakat dan yang mempercepat proses mobilisasi sosial dan demokratisasi”. Seperti ditegaskannya, nasionalisme massa di negara-negara yang sedang berkembang merupakan pedang bermata dua: bisa menjadi kekuatan yang menggerakkan berbagai kelompok dan kepentingan sosial demi tujuan bersama membentuk kerangka politik yang handal bagi tindakan bersama, tetapi juga bisa memecah belah bila suatu kelompok digerakkan dengan mengorbankan kelompok lain.