Masalah
Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan masalah sosial yang menjangkiti semua negara, baik negara yang memang
miskin, maupun negara yang tergolong maju. Semua negara di dunia ini sepakat
bahwa kemiskinan merupakan problema yang menghambat kesejahteraan dan
peradaban. Menurut BPS kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran, menurut pendekatan ini penduduk miskin apabila rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Namun definisi ini
tidak dapat dipakai secara lebih general karena berbagai alasan. Pertama
pengertian ini tidak dapat menggambarkan secara utuh realitas kehidupan orang
miskin yang muram. Kedua, konklusi ini dapat membiaskan bagaimana cara
menanggulangi kemiskinan. Ketiga, pengambilan keputusan berdasarkan definisi
ini tidak sampai menjamah bagaimana kemiskinan terjadi. Kemiskinan erat dengan
berbagai dimensi kehidupan lainnya,misalnya kesehatan, pendidikan, jaminan masa
depan, dan peranan sosial.
Kemiskinan
juga menjadi faktor pembatas rakyat terhadap aspek-aspek kehidupannya, dalam
Sahdan kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk memperoleh :
(1)
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan,
(2)
perlindungan hukum;
(3
rasa aman;
(4)
akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau;
(5)
akses atas kebutuhan pendidikan;
(6)
akses atas kebutuhan kesehatan;
(7)
keadilan;
(8)
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan;
(9)
berinovasi;
(10)
berhubungan spiritual dengan Tuhan; dan
(11)
berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Begitu
besarnya jumlah penduduk miskin di republik ini, lihat saja data BPS yang menyatakan
per Maret 2013 sebanyak 31,03 juta jiwa yang 64,24% diantaranya tinggal di
desa, dari dulu hingga sekarang memang desa diidentikan dengan potret
kemiskinan. Hal ini dikarenakan desa didominasi pekerjaan di sektor agraris
yang mana semakin hari terjadi penyusutan lahan pertanian mengakibatkan bencana
sosial ekonomi bagi masyarakat desa. Bagaimana tidak, petani yang sudah puluhan
tahun menggarap sawahnya tiba-tiba dengan dalih untuk infrastruktur jalan
terpaksa menjual sawahnya kepada negara, walaupun mendapatkan ganti rugi tetapi
ketidakmampuan mengelola uang tersebut menjadikan petani berdiam, untuk bekerja
di sektor lain jelas mereka tidak punya keterampilan. Belum lagi nasib para
buruh tani yang tadinya mengantungkan hidupnya pada kegiatan di sawah,
menyusutnya sawah menyebabkan mereka mengalami penurunan pendapatan. Hal inilah
yang menyebabkan para buruh tani bermigrasi untuk menjadi buruh tani di lain
daerah, misalnya ketika masa tanam dan masa panen. Inovasi pertanian melalui
mekanisasi kegiatan bercocok tanam yang tanpa mempertimbangkan aspek sosial
ekonomi juga turun menyumbang penurunan pendapatan buruh tani, misalnya
aplikasi mesin penanam bibit padi yang sebenarnya jika diterapkan lebih cocok
untuk daerah dengan jumlah buruh tani yang minim.
Kemiskinan
merupakan masalah yang menimbulkan multiple effect, yaitu dengan adanya
permukiman kumuh, tindakan kejahatan, menjamurnya kaum-kaum marjinal di
jalanan, serta persoalan kesehatan. Dalam laporan UNDP mengenai MDGs, disitu
ditulis tujuan pertama dari MDGs adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan
ekstrim. Beragam upaya dari pemerintah untuk menekan kemiskinan pun sudah/
sedang dilakukan, IDT, BLT, maupun PNPM yang notabene memakai dana utangan luar
negeri. Memang pemerintah juga BPS “mengklaim” telah terjadi penurunan kemiskinan,
misalnya dalam kurun 2012-2013 terjadi penurunan sebesar 1,51 juta jiwa. Perhatian
pemerintah terhadap kemiskinan melahirkan program-program dalam rangka
pengentasan kemiskinan, selain yang disebutkan diatas di Kabupaten Gunung Kidul
berbagai skema dalam upaya pengentasan kemiskinan juga sudah diupayakan, dalam
laporan IRE disampaikan bahwa berbagai program dalam rangka pengentasan
kemiskinan di Gunung Kidul masih memprioritaskan pembangunan infrastuktur
sehingga dominansi pembangunan infrastuktur yang kurang terkoordinasi masih
menempatkan kemiskinan di Gunung Kidul sebesar 25,96 % per 2008.
Strategi
dalam pengentasan kemiskinan pun tidak berjelan dengan baik, hal ini
dikarenakan belum terkoordinasinya dengan baik, ssetiap program penanggulangan
kemiskinan punya, mekanisme koordinasi dan pengambilan kebijakan tersendiri.
Dampaknya, pemerintah desa dan masyarakat mengalami kebingungan dalam
meletakkan posisi program pembangunan penanggulangan kemiskinan yang harus
dilaksanakan sesuai dengan skema pembangunan desa maupun pembangunan daerah. Selain
terjadi kurang terkoordinasinya program juga terjadi pendekatan yang berbeda
antara pemerintah dan NGO dalam menyikapi kemiskinan. Hal ini dapat dilihat
tentang perbedaan jumlah penduduk miskin antara yang diklaim pemerintah dengan
yang disampaikan lembaga internasional, sehingga berdampak pada penerapan
metode penanggulangan kemiskinan yang disharmoni dikalangan masyarakat. Hal ini
dapat dilihat beberapa waktu lalu menganai BLT maupun Jamkesmas yang tidak
tepat sasaran. Masih dominansinya pemerintah dalam menelurkan program
pengentasan kemiskinan melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya terpukti
tidak maksimal dalam menekan angka kemiskinan secara signifikan. Oleh karena
itu dalam Huri et al kebijakan yang paling mungkin untuk penanggulangan
kemiskinan di Indonesia adalah dengan menerapkan pola pembangunan partisipatif.
Rakyat dan pemerintah duduk sama tinggi dalam model pembangunan..
Kemudian
model sistem ekonomi yang perlu dikembangkan dalam upaya pengentasan kemiskinan
adalah sistem ekonomi yang memberikan peran rakyat yang strategis, hal ini
sesuai dengan amanat konstitusi. Dibutuhkan inovasi baru untuk membangun sistem
yang memungkinkan perekonomian rakyat tumbuh subur. Walaupun sudah ada sistem
yang memberdayakan ekonomi rakyat namun pertumbuhan orang miskin tetap tak
terbendung, contohnya meski sudah dibentuk kementrian tersendiri yang mengurusi
koperasi dan UMKM, koperasi dan usaha ekonomi lemah tetap tergilas oleh arus
kapitalisme. Yang perlu disadari sekarang adalah bagaimana membangun sinergi
antara pemerintah dan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan. Adanya UU Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Pengelolaan Zakat dan juga UU Penanganan Fakir
Miskin seharusnya juga menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan, mengingat
potensi zakat Indonesia begitu besar, pada tahun 2013 menurut IDB sebesar Rp
217 trilyun. Penanganan secara profesional dan terkoordinasi antar instansi
yang mengesampingkan korupsi tentunya menjadi angin segar republik ini dalam penanganan
terhadap kemiskinan.
Refrensi : http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/25/kemiskinan-induk-permasalahan-sosial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar